LIGHTS OUT
Sutradara: David F. Sanberg
Produksi: New Line Cinema, Atomic Monster, Grey Matter Prod, RatPac, 2016
Nama James Wan memang seakan sudah jadi jaminan buat genre horor. Film-film horor produksinya harus diakui punya kualitas dan inovasi beda tanpa harus meninggalkan dayatarik utama mengapa penonton gemar sekali dengan genre ini; adegan seram dan jump scares, serta karakter villain yang gampang melekat. Satu yang kerap muncul dari inovasi itu adalah reinvensi berbeda soal hubungan-hubungan keluarga yang membuat gelaran ketakutannya jadi terasa lebih visceral daripada sekedar menakut-nakuti.
Setelah kesuksesannya merambah sekuel ‘The Conjuring‘, both critics and commercial, Wan kini menjadi produser dalam ‘Lights Out’ yang diangkat dari film pendek berjudul sama karya David F. Sanberg bersama istrinya, Lotta Losten, yang meski tak menang namun mulai memunculkan viral hype setelahnya. Konsep atmospheric dalam interkoneksi kegelapan dan keberadaan makhluk halus-nya bukan sama sekali baru dan sudah pernah diangkat lewat ‘Darkness Falls’, namun ‘Lights Out’ seperti versi hardcore-nya dalam melangkah ke pace horor yang jauh lebih.
Dengan introduksi di sebuah pabrik manekin, ‘Lights Out’ pun mengantarkan kita pada sebuah keluarga yang terpecah. Teror yang dialami Martin (Gabriel Bateman), putra kecil Sophie (Maria Bello) yang mengalami gangguan mental setelah kejadian itu lantas membuat kakak tirinya, Rebecca (Teresa Palmer) muncul untuk melindungi Martin dan menyadari bahwa teror ini punya hubungan dengan masa kecilnya. Bersama kekasihnya, Bret (Alexander DiPersia), Rebecca pun mulai menyelidiki latar belakang dari sosok misterius yang belakangan diketahui bernama Diana (Alicia Vela-Bailey) ini.
Kekuatan utama ‘Lights Out’ memang ada pada ide dasar yang diusung Sandberg soal titik gelap dan terang di balik kemunculan hantunya. Namun lebih dari itu, in many skillful ways, konsep menarik ini dibangun Sandberg tetap terasa penuh kejutan terhadap dasar ketakutan banyak orang dalam konsepnya. Dan yang membuatnya jadi sangat spesial adalah kemasan horor dengan pace yang sangat fun bak menaiki wahana seru rumah hantu di sebuah theme park, di mana pemirsanya bisa dengan mudah berteriak bersama di gelaran jump scares yang ditaburnya di sepanjang film. Ia tak perlu menahan-nahan kemunculan sosok hantu atau twist kelewat spesial untuk membuat filmnya jadi sesuatu yang terlihat lebih pintar, tapi set up kengeriannya dieksekusi dengan pas bersama tampilan jump scares bahkan dengan sedikit selipan komedi yang efektif ke tengah-tengahnya.
Performa juga jadi satu keunggulan yang lain dari ‘Lights Out’. Di balik ikatan kuat soal psikologis dan inti keluarga dari bentukan karakter dalam skrip Eric Heisserer (‘The Thing‘ remake, ‘Final Destination 5‘) yang makin memperkuat tensinya, Maria Bello dan Teresa Palmer bermain baik sebagai Sophie dan Rebecca. Namun yang paling spesial justru bocah kecil Gabriel Bateman yang berkali-kali ditempatkan sebagai fokus utama ancaman sosok jahat Diana yang juga dibangun dengan meyakinkan lewat efek sebagai demonic villain yang langsung menempel di benak pemirsanya. Ini memang simpel, tapi pendekatan yang tepat berhasil membuatnya jadi horor yang kuat sekaligus sangat menjual. Hanya sayang, posternya yang sama-sama simpel mungkin bisa jadi distraksi di negara-negara dengan pemirsa yang sudah punya pola tipikal dalam ketertarikan mereka terhadap sebuah film horor, termasuk di Indonesia. (dan)